Thursday, October 14, 2010

A Chef's Love Story

July, 13rd 2010

Aku termangu, menatap kursi nomor 8 yang berada tepat di depanku. Menatap kau yang sekarang duduk di sana. Membuka laptop-mu, atau mendengarkan musik dari iPod-mu, lalu memesan Crepe with peach sauce dan Caramel frappuccino. Menggigit dan menyesapnya sedikit, lalu tersenyum. Kurasa kau senang menikmatinya.

Kau tahu, aku juga senang melihatmu tersenyum seperti itu. Senang sekali, seolah setiap hari adalah musim semi. Matahari bersinar cerah, bunga-bunga bermekaran.

Hahhh…kau mau bilang aku berlebihan, atau ucapanku terlalu klise? Silakan…aku tak peduli.

Sayang, aku hanyalah background person. Seseorang yang selalu menjadi latar belakang. Tak eksis dan tak populer. Aku bukanlah si waiter yang bisa berinteraksi denganmu, menanyakan makanan yang ingin kau pesan, mengantarkan pesananmu dengan wajah tulus dan penuh senyuman. Atau si penjaga kasir yang bisa memberikanmu diskon, atau membiarkanmu membayar dengan harga yang kurang daripada seharusnya. Atau si petugas cleaning service yang rela membersihkan meja makanmu saat kau mengeluh ada sisa saus atau sisa minuman di sana.

Karena aku hanyalah seorang chef. Yang hanya berkutat dengan bahan-bahan mentah, lalu menyulapnya menjadi hidangan yang lezat. Yang hanya menjadi sasaran teriakan si waiter.

Chef! Tiramisu satu!

Chef! Cappuccino tanpa krimer!”

Chef! Bisa lebih cepat sedikit? Pelanggan sudah mengomeliku dari tadi!”

Lagi-lagi aku hanya menghela nafas.

”Ya...tunggu sebentar...” jawabku.

Namun aku tahu kau, adalah satu-satunya orang yang tak pernah komplain, tak pernah mengeluh, menunggu pesanan dengan sabar. Walaupun aku sengaja membuat agar pesananmu sampai 15-20 menit lebih lama dari yang seharusnya.

Kau tahu kenapa? Karena aku berusaha membuat pesananmu tampil se-perfect mungkin. Dan yang paling penting, aku membuatnya setulus hati.

Kau tahu kan, makanan dan minuman yang dibuat sepenuh hati akan sepuluh, bahkan sejuta kali lebih enak, walaupun dibuat dari bahan-bahan sederhana.

Dan hari itu, aku benar-benar senang saat mendengar, ah, bukan, mencuri dengar perkataanmu.

”Waiter, tolong sampaikan pada Chef yang membuat makanan dan minuman ini...aku sangat puas dengan hasil kerjanya. Benar-benar sempurna.”

”Baik, Nona. Nanti akan saya sampaikan.”

”Terima kasih...”

Lalu kau pergi meninggalkan cafe ini. Seperti biasa, dengan langkahmu yang anggun dan senyuman yang menghiasi wajahmu.

Kau tahu, hari ini adalah hari terindah dalam hidupku.

************

July, 14th 2010-07-13

Hari ini, kau datang lagi. Kau tampak cantik dengan dress selutut berwarna soft pink dan bolero berwarna putih.

Namun, ada yang berbeda darimu. Wajahmu tampak kusut sekali, bahkan senyum manis yang selalu tersungging di bibirmu tak mampu menyembunyikannya.

Ada apa denganmu? Ingin sekali aku menghampirimu untuk menanyakan keadaanmu, namun teriakan si waiter mengurungkan niatku.

Crepe with peach sauce dan caramel frappuccino satu!”

Aku tersenyum. Aku tahu, itu pasti kau.

Tunggulah, princess...aku janji tidak akan membiarkanmu menunggu lama.

************

Ah, sial...kemalaman lagi!

Aku berlari kecil menuju halte bus yang tak jauh dari cafe tempatku bekerja. Seharusnya aku bisa pulang lebih awal dengan rekan-rekan kerjaku, tetapi aku selalu menolak ajakan mereka. Yah, lagi-lagi karena kebiasaan bereksperimenku yang tak dapat dikendalikan. Lagipula ini untuk memuaskan pelanggan. Siapa yang tidak tertarik dengan cafe yang selalu menyajikan menu baru?

Dari kejauhan, aku melihat sosokmu, duduk di sudut halte. Hei, tak baik seorang wanita duduk sendirian di sini, apalagi di malam hari.

“Hai...” sapaku canggung.

“Hai juga...” kau membalas sapaanku.

“Hmm...ada seseorang yang ingin kau tunggu?” tanyaku.

“Ya...”

“Kalau boleh tahu, siapa?”

My boyfriend...Ia sudah berjanji akan mengajakku makan malam, dan aku harus menunggunya di halte ini. Namun ia tak juga datang...Menyebalkan...” keluhmu dengan nada kekanakan. Membuatku tak tahan untuk mengacak rambutmu.

Namun kau diam saja. Kenapa kau tak marah padaku?

”Ah, maaf...” ujarku, salah tingkah.

”Tak apa...sudah lama sekali rambutku tidak diacak-acak seperti ini...hahaha..”

Tuhan, kenapa Kau menciptakan gadis sesempurna dia?

”Oya, kau sendiri? Apa kau menunggu seseorang juga?” tanyamu.

“Bukan...aku menunggu bus untuk pulang ke rumah...“ jawabku.

Tak ada lagi percakapan. Kita berdua duduk dalam hening.

Tin...tin..!

“Ah...dia sudah datang! Aku duluan ya...”

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis.

”Sayang, maaf...membuatmu menunggu lama...”

Eh? Jadi..kau?

”Jahat! Teganya membiarkanku menunggu di halte malam-malam begini. Menyebalkan!”

”Maafkan aku...aku janji tidak akan mengulanginya lagi...”

”Janji ya!”

”Ya...”

Lelaki itu, lelaki yang memanggilmu dengan sapaan mesra itu, mengecup dahimu dengan lembut. Argh! Kenapa pemandangan seperti ini yang harus kulihat?

Lalu, kau pergi dengannya, meninggalkanku. Kali ini perasaanku bercampur-aduk.

************

July, 15th 2010

Hari ini, kau datang lagi. Kali ini dengan T-shirt berwarna putih dengan motif berwarna biru. Dipadukan dengan jeans hitam dan sneakers berwarna putih. Berbeda dari biasanya, tapi kau tetap terlihat manis.

Namun perkiraanku salah. Aku menyangka kau datang sendirian, tapi kenyataannya tidak. Kau datang bersama kekasihmu itu. Bahkan kalian mengenakan couple T-shirt...

Kalian benar-benar tahu membuat orang lain merasa iri ya...Bukan hanya aku, pelanggan lain juga mengalihkan pandangannya kepada kalian berdua.

Crepe with peach sauce satu, caramel frappuccino satu, strawberry shortcake satu, vanilla milkshake satu!”

Apakah itu kau, princess? Apakah itu kau, yang memesan crepe with peach sauce dan caramel frappuccino?

Namun, seketika aku menyesal, saat makanan yang biasanya kau pesan itu ternyata bukan untukmu, melainkan untuk kekasihmu. Padahal aku membuatnya dengan setulus hati, berharap kau yang memakannya kali ini.

Walaupun begitu, setidaknya aku senang, ternyata kalian berdua menyukai makanan buatanku.

Honey...ternyata makanan pilihanmu sangat enak ya...”

“Tentu saja...aku kan ahli dalam hal seperti ini...” jawabmu sambil tersenyum manis.

Ternyata kau sudah menjadi milik orang lain...kurasa aku tak berhak memanggilmu princess lagi...

************

July, 21st 2010

Hari ini, cafe agak sepi. Wajar memang, kali ini cuaca sangat panas. Tak banyak orang yang ingin berlama-lama di luar rumah.

Dan sudah 7 hari kau tak mampir lagi ke cafe ini. Kemana dirimu, princess?

Ups, maaf, lain kali aku tak akan memanggilmu princess lagi, karena kau bukanlah princess-ku.

Kau tahu, bahkan pegawai yang hadir hari ini sibuk membicarakanmu.

”Nona Carine kemana ya? Sudah 7 hari dia tak datang lagi ke sini...”

Eh? Jadi namamu Carine?

”Hei, dari mana kau tahu namanya?”

”Hei...aku kan penjaga kasir...tak sulit mengetahui namanya. Dari credit card...gampang kan?”

”Yah..kau enak! Aku hanya cleaning service, tak sempat berinteraksi banyak dengannya...” keluh Spencer.

”Kalau soal berinteraksi banyak, tuh...si Vincent..dia kan waiter...” timpal Aiden, si penjaga kasir.

Vincent hanya senyum-senyum mendengarnya.

”Bahkan aku tahu semua tentang dia...” ujar Vincent bangga.

”Benarkah?” yang lainnya mulai semangat.

”Iya...nama lengkapnya, pekerjaannya, alamatnya, bahkan lelaki yang bersama dengannya tempo hari...”

”Wow...you are a real stalker!” Aiden berdecak kagum.

“Bukan stalker juga sih…dua hari yang lalu, aku kebetulan bertemu dengannya di halte. Dan kami bercerita tentang banyak hal. Dan kalian tahu? Lelaki itu adalah tunangannya. Katanya sih, mereka akan menikah bulan September.” Vincent bercerita dengan antusias.

”Yah...” Spencer mendesah kecewa. ”Padahal aku ingin mendekatinya...”

”Jangan! Bisa-bisa Nona Carine tak makan bila berpacaran denganmu...kau kan pelit?”cibir Aiden.

”Yah...lagipula dia kan sudah bertunangan...tak ada kesempatan lagi buatmu, Spencer...”

”Ada kok! Selama ia belum menikah...Kalian tak pernah nonton drama ya? Banyak wanita yang menikah bukan dengan tunangannya...” jelas Spencer.

”Dasar drama-lover sejati!”

Mereka pun tertawa. Sedangkan aku? Mana bisa aku tertawa dalam keadaan seperti ini?

”Hei, Nathan masih sibuk ya? Bukannya sampai sekarang belum ada pengunjung yang datang?“ tanya Aiden.

“Tak tahu...,“ Vincent mengangkat bahu, “selama ini aku jarang mengajaknya berbicara. Ia terlalu pendiam.”

”Aku juga merasa begitu.” timpal Aiden. ”Aku jadi segan dengannya.”

”Bagaimana kalau kita ajak ia ngobrol-ngobrol? Sayang sekali kalau kita bekerja di tempat yang sama, tapi tidak akrab satu sama lain...” usul Spencer.

Ah..apa aku sebegitu menyedihkan? Tak punya teman, tak punya ... ah, sudahlah.

”Nathan...apa kau sibuk?” tanya Vincent yang tiba-tiba menghampiriku.

”Tidak juga, kenapa?”

”Hm...anu..bagaimana kalau...kita ngobrol-ngobrol di depan? Mumpung tak banyak orang yang datang ke sini...”

”Baiklah...tapi tunggu sebentar, aku menyiapkan minuman dulu.”

Dan kami akhirnya berbincang-bincang, menghabiskan waktu di cafe yang sepi ini, sambil menyeruput watermelon punch yang kubuat.

Rahasia yang selama ini kupendam rapat-rapat akhirnya terbongkar juga. Yah, mereka tahu aku menyukaimu.

Kau tahu, komentar apa yang mereka berikan untukku?

”Hyaah...Nathan...semangat! Kejar terus cintamu...” Spencer

”Nathan, kau pasti bisa! Minimal kau menyatakan perasaanmu padanya. Soal diterima atau ditolak, itu tak penting. Yang lebih penting, dia sudah tahu bagaimana perasaanmu.” Aiden

”Aku tak menyangka kau menyukai Nona Carine...Lagipula kau sih...tak pernah terbuka dengannya...selalu memendam perasaanmu. Aku hanya bisa mendoakanmu...kalau kau berhasil mendapatkannya, berarti kau beruntung. Kalau kau tak mendapatkannya, masih banyak gadis lain yang cocok untukmu. Nathan, fighting!” Vincent

Thank you, friends...you make me much stronger! Nathan, you can do it!

************

September, 2nd 2010

Aku sedang duduk di teras cafe. Menunggu Spencer datang untuk membuka cafe. Ugh, rasanya membosankan sekali.

Lalu kau datang menghampiriku. Rasanya sudah lama sekali aku tak melihatmu, tepatnya, sejak pertengahan Juli lalu.

Dan yang paling penting, kau datang tanpa dia.

Hahaha...apa aku terlalu egois? Maafkan aku kalau begitu.

”Nathan?”tanyamu ragu.

”Ya? Nona Carine?”

Kau tertawa. Aku tak dapat menahan diri untuk tidak ikut tertawa.

”Hei, kita belum pernah berkenalan sebelumnya kan?” tanyamu bingung. ”Darimana kau tahu namaku?”

”Kau sendiri?” aku bertanya balik.

“Aku tahu namamu dari Vincent...“ jawabmu.

“Kalau aku tahu namamu dari Aiden...yang menjaga kasir di cafe tempatku bekerja.“

“Kau...bukannya Chef di Vignette Cafe ini? Yang menjadi orang penting dibalik semua makanan dan minuman yang disajikan?”

“Ya...benar...tapi kurasa kau sedikit berlebihan...hehehe,” jawabku.

“Aku suka semua makanan dan minuman yang kau buat...perfecto!”

“Terima kasih...tapi bukannya yang kau pesan adalah Crepe with peach sauce dan Caramel frappuccino. Dan sekali kau memesan strawberry shortcake dan vanilla milkshake. Bagaimana bisa kau mengatakan semua yang kubuat itu enak?”

“Hmm...yah..itu hanya dugaanku saja. Aku yakin, apapun yang kau buat pasti enak.”

”Terima kasih...,” ucapku malu-malu.

”Oya, biasanya kau menerima pesanan?”

”Hmm...selama ini aku belum pernah mencobanya. Namun, kalau kau mau, aku akan usahakan,” jawabku.

”Eung...bagaimana dengan kue untuk resepsi pernikahan?”

Aku terkejut. Shock. Bukan karena aku tak bisa membuatnya, tapi...

Ada sesuatu yang rasanya mengganjal.

Aku tahu, aku egois.

Ayolah, Nathan…dia sudah menjadi milik orang lain…kau tak berhak untuk cemburu…

“Baiklah, akan kuusahakan…,” jawabku akhirnya. Kau tersenyum senang.

“Terima kasih…Oya, aku akan menikah tanggal 9 September, dan resepsinya tanggal 10. Ini undangannya…datang ya…ajak juga rekan-rekanmu yang lain,” kau terus berceloteh sambil menyerahkan kartu undangan yang dihiasi pita berwarna soft pink itu.

“Baiklah, aku akan usahakan…,” lagi-lagi jawaban yang sama. “Oya…Carine …”

“Ya? Ada apa?”

“Mmm..aku..”

Ayo, Nathan! Katakan perasaanmu padanya. Setidaknya itu akan membuatmu lega...

”Ya?” tanyamu tak sabar.

”Semoga kau berbahagia dengannya...” ucapku akhirnya.

”Terima kasih...aku juga berharap kau bisa menemukan gadis yang cocok untuk pria yang baik sepertimu.”

Lalu, kau pergi meninggalkanku. Kali ini hatiku hancur, seperti mashed potato, bahkan mungkin lebih buruk lagi.

Bodoh! Kau benar-benar bodoh, Nathan!

”Aku kecewa denganmu, Nathan!”

Eh? Spencer? Kau..mendengar semuanya?

”Kenapa kau tak punya nyali sedikitpun untuk menyatakan rasa sukamu?”

”Sudah terlambat...,” jawabku dingin. ”Sudahlah, tak usah pedulikan aku.”

BUGH! Satu pukulan mendarat di pipiku.

”Pengecut!”

Aku tertunduk. Menahan rasa sakit di pipiku. Juga rasa sakit di hatiku.

”Maaf...,” bisik Spencer sambil merangkul tubuhku. ”Ini semua untuk kebaikanmu juga, Nathan...”

”Ya, aku mengerti. Aku yang terlalu bodoh.”

”Ada apa ini?” tanya Vincent dan Aiden berbarengan.

”Tidak ada apa-apa...,” jawabku dengan suara pelan.

”Ya sudah, tunggu apa lagi? Ayo kita masuk. Ini sudah pukul 9 pagi," Spencer mengingatkan kami.

************

”Nathan! Kau ini kenapa sih?” tanya Aiden sengit. ”Gara-gara kecerobohanmu, kita kehilangan pelanggan.”

Lagi-lagi aku tertunduk. Jujur, mood-ku hari ini benar-benar tidak bagus.

Brownies hangus, strawberry sherbet yang terlalu asam, milkshake yang encer, lalu apa lagi, hah?”timpal Vincent.

”Ya! Jangan teriak-teriak terus! Kalian membuat mood-ku bertambah rusak," Spencer ikut kesal. Ia sibuk membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai. Salah seorang pembeli menjatuhkan gelas minumannya saking kecewanya dengan waiteran cafe ini.

”Bisa-bisa kita rugi besar kalau begini terus!” Aiden masih terus menggerutu.

”Ah...sudahlah, aku pulang saja!” Vincent mengemasi tasnya lalu berjalan keluar cafe.

”Vincent! Tunggu aku!” seru Aiden, takut ditinggal. ”Spencer, kau tak pulang?”

”Kau duluan saja.” jawab Spencer tenang.

“Ya sudah, aku duluan ya...“

Sekarang tinggal aku dan Spencer yang berada di ruangan ini. Aku ingin membantu Spencer membersihkan pecahan kaca dan sisa minuman yang lengket, tapi aku takut membuatnya marah.

”Kenapa kau tak bilang dari tadi?”

”Maksudmu? Bilang apa?”

”Kalau kau bilang mood-mu jelek, lebih baik cafenya tidak usah kita buka. Tapi, ya..ah, sudahlah.”

”Maaf, seharusnya aku bisa lebih profesional.”

”Tak apa, aku mengerti kok. Tandanya kau manusia normal.”

What? Maksudmu aku tidak normal?”

”Aish, susah ya..berbicara dengan manusia sensitif...” Spencer menghela nafas. ”Sudahlah, masih ada gadis yang lebih baik buatmu...”

”Hmm...”aku hanya diam sambil mengetuk-ngetukkan jariku di atas meja.

”Oya, tanggal berapa dia akan menikah?” tanya Spencer.

”Tanggal 9, resepsinya tanggal 10,” jawabku malas. ”Kau datang?”

”Aku tak diundang...,” ia mendesah kecewa. ”Bagaimana denganmu, Nathan?”

”Entahlah..tapi yang jelas, aku, kau, Aiden, dan Vincent diundang kok. Eh? Bukankah kau mendengar percakapanku dengan Carine?”

”Aku cuma mendengar bagian akhirnya saja kok...tidak dari awal. Itupun tak sengaja," jawab Spencer.

”Ah...sudahlah...lupakan! Ayo kita pulang,” ajakku. Aku tidak ingin membahas hal ini lebih lanjut. Spencer menatapku bingung, tapi akhirnya ia setuju.

************

September, 10th 2010

Tak terasa ya, hari ini adalah hari resepsi pernikahanmu...

Maafkan aku karena tidak datang saat kau melangsungkan pernikahan kemarin...

Maafkan aku, karena belum bisa merelakanmu...

Jujur, aku mencintaimu, tetapi aku terlalu takut untuk menyatakannya padamu...

Sebagai gantinya, kupersembahkan kue ini untukmu...tak istimewa memang, tapi kuharap kau suka...

Semoga kau berbahagia, Carine ...

Sincerely,

Nathan

Aku melipat surat yang baru saja kutulis dan memasukkannya ke dalam amplop berwarna lavender.

”Nathan! Kenapa lama sekali?” Aiden berteriak dari luar. Ya, mereka sudah kuberitahu bahwa Carine mengundang kami berempat untuk datang pada resepsi pernikahannya.

”Cepatlah! Kau tega membiarkan kue ini dibawa oleh tiga orang?” timpal Vincent.

”Ya..ya...sebentar lagi!” seruku dari dalam kamar.

Aku menatap bayangan tubuhku di cermin. Menghela nafas, lalu menghembuskannya perlahan.

Nathan, fighting!

Aku melangkah tergesa ke luar rumah, sementara surat tadi kumasukkan ke dalam saku celanaku.

”Aish, lama sekali! Ayo, nanti Carine marah loh!” goda Spencer. Aku menjitak kepalanya pelan.

-------------------------------

Aku menatap Carine dari jauh. Ia terlihat bahagia sekali dengan suaminya. Kalau tidak salah namanya Marcus, begitu yang Vincent ceritakan padaku.

”Wah...ini kau yang buat, Nath?” tanya Carine.

Aku mengangguk pelan.

”Semoga kau suka...” ujarku basa-basi.

”Terima kasih, Nath..aku yakin kue ini pasti enak!”

Aku tersenyum.

”Ya...dia rela tidur hanya 2 jam sehari untuk mencoba-coba resep,” timpal Spencer.

”Wow, benarkah?” Carine terlihat kagum.

”Kau berlebihan, Spencer...,”ujarku.

”Oya, kenalkan, ini Marcus, suamiku.”

Marcus menjabat tangan kami satu-persatu sambil menyunggingkan senyum manisnya.

”Semoga kalian langgeng ya,”ujar Vincent.

”Terima kasih,”kali ini Marcus yang membalas.

”Semoga cepat dikaruniai anak,”tambah Aiden.

Honeymoon-nya tak usah jauh-jauh...buang-buang uang!” Spencer ikut bicara.

”Hahahaha...”tawa kamipun meledak. Aku ikut terkekeh mendengar ucapan Spencer. Maklum, dia sangat pelit. Aku jadi heran, kenapa ia tidak jadi penjaga kasir saja ya?

”Oya, Carine...ada surat untukmu...,” ucapku sambil menyodorkan amplop berwarna lavender. Seketika suasana menjadi freeze. Aiden, Spencer, dan Vincent yang tadinya tertawa mendadak diam.

Carine tersenyum, lalu membaca surat yang kutulis. Marcus menatapnya dengan tatapan ingin tahu.

I’m sorry, Nath...but thank you...,” ucap Carine.

Never mind...,” balasku. Rasanya semuanya terasa ringan sekarang.

************

Kamipun pulang setelah menghabiskan waktu cukup lama di acara resepsi pernikahan Carine dan Marcus. Vincent, Spencer, dan Aiden menatapku yang tersenyum-senyum sendiri.

”Kau kenapa sih? Kemarin bad mood, sekarang malah ceria tak jelas.”tanya Spencer heran.

”Memangnya apa sih yang kau tulis di surat itu?”tanya Aiden.

Love confession...hahaha”

What? Kau ingin dicincang Marcus ya?”

“Setidaknya lebih baik kan daripada tidak sama sekali?”ucapku tenang. Ketiga rekanku hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Hahaha…that’s my love story…what is yours? Tell me ASAP, ok!

THE END

Karena bingung mau nulis apa, jadiah saya publish cerita yang udah lama mendem di lappie saya ini. Ini sebenarnya cerita fanfiction sih, tapi kayaknya ga begitu ngaruh deh (saya kan udah ga ngefans lagi sama mereka). Dan saya tahu cerita ini ga ada unsur Islami-nya sama sekali T_T sangat jahiliyah kan? *nangis di pojokan*

Mohon kritik dan sarannya...

2 comments:

faddycool said...

mari menulis ja dah..
coba bikin sendiri mi..
tulis yg dipikirin bukan mikir yg dituliss..
=)

Lailaturrahmi said...

@faddycool : hohoho..betul bang. tuh udah ada postinga baru, tapi bukan cerita sih..

Post a Comment